AKUNTABILITAS APBD DI SUMATERA UTARA TAHUN 2017
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Kebijakan Keuangan dan Politik Perpajakan
Dosen Pengampu: Dr. R. Sally Marisa Sihombing M.Si
Disusun oleh:
Kiki Rahmadani (180903024)
Talitha Putri Anisach Lase (180903044)
Joseline Harefa (180903078)
Viona Audelia Siregar (180903078)
Muhammad Anggi Rizki Harahap (180903114)
Raihana Zhafira (180903118)
Indah Safitri Tarigan (180903122)
Panji Perkasa Harahap (180903126)
Dinda Nabilah Lubis (180903136)
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dalam tema Pertanggungjawaban Pemerintah dalam Anggaran Negara/Publik yang berjudul “Akuntabilitas APBD di Sumatera Utara Tahun 2017”.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya. Maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah di hari yang akan datang.
Demikianlah kata pengantar yang disampaikan, dengan harapan semoga tulisan sederhana ini dapat diteirma dan bermanfaat bagi semua pembaca. Khusunya bagi teman-teman di Ilmu Administrasi Publik kelas B.
Atas terselesainya makalah ini, kami mengucapkan terimakasih bagi segala pihak yang telah ikut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini
Medan, 3 Desember 2020
Penyusun,
Kelompok 7
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dituntut untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangannya agar tercipta pemerintahan yang bersih.Salah satu upaya konkrit Pemerintah Daerah untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangannya adalah melalui penyajian laporan keuangan Pemerintah Daerah yang memenuhi prinsip tepat waktu dan disusun mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan yang telah diterima secara umum. Standar Akuntansi Pemerintahan, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mendukung maka Pemerintah Daerah telah menyusun laporan keuangan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Tetapi, apakah laporan keuangan tersebut telah mengungkapkan informasi yang lengkap sesuai Standar Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, masih menjadi fenomena yang sering terlihat. Dalam pengelolaan keuangan daerah, Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) suatu pemda merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dan memerlukan pengawasan serta pemeriksaan (audit) yang baik. Hal ini dimaksudkan agar laporan keuangan memerlukan pengawasan serta pemeriksaan (audit) yang baik sehingga tidak terjadi kecurangan. Di Indonesia, pemeriksaaan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mengingat kedudukan aspek keuangan daerah yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah daerah, maka terdapat beberapa aturan dan prinsip- prinsip penganggaran yang harus ditaati (Prasetyo, 2005) dalam Garini (2015), diantaranya:
1) pengelolaan keuangan daerah harus berorientasi pada kepentingan publik,
2) adanya kejelasan misi dalam pengelolaan keuangan daerah,
3) desentralisasi dan pelibatan stakeholder,
4) sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan,
5) bentuk dan struktur APBD serta anggaran berbasis kinerja,
6) pengembangan sistem informasi keuangan dan transparansi laporan keuangan.
Namun pada prakteknya, masih banyak terjadi masalah dalam mengimplementasikan manajemen keuangan daerah yang sesuai dengan prinsip- prinsip tersebut, contohnya Provinsi Sumatera Utara. Dalam Rapat realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi Sumatera Utara Triwulan ke-1 (TW 1) TA 2017 antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bersama Badan Anggaran DPRD provinsi Sumatera Utara, juga mengungkapkan bahwa realisasi penyerapan anggaran TW I tahun 2017 hanya 7,19 persen. Dibandingkan dengan dua tahun anggaran sebelumnya, persentase penyerapan anggaran TW I tahun 2017 paling rendah.Diketahui berturut turut penyerapan anggaran TW I tahun 2015 sebesar 11,83 persen, tahun 2016 sebesar 10,61 persen dan tahun 2017 sebesar 7,19 persen.
Penyebab hal tersebut dapat terjadi diantaranya adanya kecenderungan masih rendahnya kemauanpolitik untuk meningkatkan transparansi anggaran yang tercermin pada tingginyaalokasi belanja aparatur dibandingkan dengan alokasi belanja publik. Selain itu,pada saat penyusunan anggaran berbagai pertanyaan akan muncul. Dengan transparansi anggaran, kebocoran ataupun penyimpangan implementasi kebijakan dapat ditekan, yang dampaknya akan dirasakan pada efisiensi dan efektivitas kebijakan itu sendiri. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan sejumlah masalah yang ditemukan selama proses pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD tahun anggaran 2017) di Sumut.
Adapun masalah-masalah yang ditemukan dalam proses pemeriksaan terhadap LKPD tahun anggaran 2017 di Sumatera Utara antara lain, terdapat kekurangan kas pada bendahara pengeluaran, aset tidak tetap tidak diyakini kebenarannya karena terdapat perbedaan nilai di neraca dengan nilai pendukung; aset disajikan dengan nilai Rp0,00; aset tidak didukung rincian yang memadai, tanah di bawah ruas jalan dan daerah irigasi belum disajikan dalam neraca serta nilai rehabilitasi aset tetap tidak diatribusikan ke aset tetap perolehan awal. Masalah lainnya adalah realisasi belanja barang dan jasa tidak dapat diyakini kewajarannya karena tidak menunjukkan kondisi senyatanya, serta tidak didukung dokumen yang lengkap dan sah. Karena itu, kondisi ini menjadi bahan pertimbangan Gubernur selaku pembina ASN dan kepala SKPD di daerah, melalui ketua TAPD Sekdaprov, untuk memberikan teguran kepada kepala SKPD sebagai penanggungjawab pengelola anggaran yang masih belum melakukan perbaikan dalam penyerapan anggaran pada TW I tahun 2107 ini.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Akuntabilitas APBD di Sumatera Utara tahun 2017?”
Bab II
Pembahasan
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Akuntabilitas
Penerapan sistem tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Sjahruddin Rasul (2000) menyatakan bahwa akuntabilitas didefinisikan secara sempit sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat secara luas atau dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah, “seseorang” tersebut adalah pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima amanat yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat tersebut kepada masyarakat atau publik sebagai pemberi amanat.
Pengertian yang luas akuntabilitas pelayanan publik berarti pertanggungjawaban pegawai pemerintah terhadap publik yang menjadi konsumen pelayanannya. Hal ini terkait dengan pemikiran/konsep masyarakat yang demokratis, dimana amanat yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang/sekelompok untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, seseorang/sekelompok orang tersebut harus mempertanggungjawabkannya kepada orang orang yang memberikan kepercayaan transparansi/keterbukaan (Choirul Saleh, 2012). Akuntabilitas adalah hubungan mendasar antara menunjukkan kewajiban dan keberadaan tanggung jawab untuk mencapai hasil yang sebelumnya ada kesempatan dan harapan. Setiap dari dalam akuntabilitas untuk keseluruhan kegiatan termasuk di dalamnya keputusan tidak menerima kegiatan dalam lingkungan kerja (Omoregie Charles Osifo, 2014)
2.1.2. Transparansi Keuangan
Teori keagenan (Agency Theory) diyakini sebagai asal usul pentingnya transparansi keuangan. Teori keagenanan yang dikenal dalam lingkup manajemen perusahaan menjelaskan adanya hubungan antara agen (manajer atau pengelola perusahaan) dengan prinsipal (pemilik modal, pemilik saham). Dalam hubungan keaganen ini, agen yang diberi tugas mengelola sumber daya perusahaan termasuk keuangan sangat mungkin mengambil keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan mengabaikan kepentingan pemilik (prinsipal). Hal itu dapat terjadi dalam hubungan keagenan karena agen menguasai banyak informasi terkait sumber daya, program dan aktivitas operasi perusahaan. Di sisi lain prinsipal yang diasumsikan jauh dari kegiatan operasional organisasi, tidak terlibat dalam manajemen, dan sangat minim informasi. Dalam kondisi ini muncul masalah asimetri informasi kondisi dimana agen memiliki banyak informasi dan dapat mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri, sedang prinsipal yang kekurangan informasi sangat mungkin dirugikan dengan keputusan agen. Untuk itu mereka harus membuat laporan (menyampaikan informasi) kepada pemilik.
Pertama, untuk meningkatkan kepercayaan (trust). Pemerintah yang terbuka menyampaikan informasi keuangan kepada publik lebih dipercaya dibanding pemerintah yang relatif tertutup. Medina and Rufín (2015) menjelakan bahwa “transparency does have both a direct effect on trust and an indirect effect that is mediated by satisfaction.” Pemerintah yang tertutup dengan informasi keuangan dapat dinilai warga memiliki setumpuk rahasia penyelewengan keuangan. Pemerintah menutup informasi keuangan dapat diduga kurang berkompeten dalam mengelola dan melaporkan keuangan. Umumnya. pemerintah yang tertutup tidak dapat menjelaskan mengapa kinerja pembangunan mereka buruk dan tidak berhasil. Kedua, untuk meningkatkan pengawasan masyarakat (controlling). Untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan warga perlu disertkan dalam pengawasan, dan pengawasan masyarkat ini akan efektif bila warga masyarakat mendapat informasi tentang pembiayaan program/kegiatan. Warga menjadi “watch dog” di tingkat lapangan bila perangkat pemerintah tidak ada disana. Pemerintah mempunyai keterbatasan dalam melakukan mengawasan program dan kegiatan, dan untuk itu membutuhkan dukungan warga masyarakat. Warga masyarkat dapat menilai dan memberikan masukan untuk berbagai kekurangan atau kelalaian pelaksanaan program/kegiatan di bila pemerintah transparan dalam penyampaian informasi keuangan program/kegiatan. Ketiga, bahwa warga berhak untuk mendapatkan informasi danhak untuk mengetahui (right to inform and right to know).
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Hak-hak warga negara menjadi perhatian dan ukuran kualitas demokrasi di setiap negara. Warga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan mengetahui kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada kehidupan warga dan masyarakat. Keuangan yang dialokasi pemerintah juga harus diinformasikan secara terbuka (transparan) agar warga dapat menilai kecukupan atau kekurangan untuk membiayai kebijakan, program, dan kegiatan.
2.1.3. APBD
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD adalah rencana pelaksanaan keseluruhan pendapatan daerah dan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah.
APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui bersamaoleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (permedagri No.13 Tahun 2006). Dengan demikian berbagai kepentingan public yang diwujudkan melalui berbagai dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dirasakan oleh masyarakat. Menurut mentri Negara otonomi daerah RI dan PAU-SE UGM, APBD pada hakikatnya merupakan instrument kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah.Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus selalu berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan suatu APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasikan kepentingan dan akuntabilitas publik. Suatu anggaran yang telah direncanakan dengan baik, sehingga baik tujuan maupun sasaran akan dapat tercapai secara berdayaguna dan berhasil guna.
Sementara itu Mardiasmo (2010:11) mengatakan, bahwa salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah.Anggaran daerah yang tercermin dalam APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, menduduki porsi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah seharusnya digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan belanja, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan serta alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang dan ukuran standar untuk mengevaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas pada berbagai unit kerja.
Waktu pelaksanaan APBD sama seperti halnnya dengan waktu pelaksanaan Anggaran Pendaparan dan Belanja Negara (APBN) yaitu dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut. APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan dan pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan belanja, jumlah plafon belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran belanja harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya pendapatan dan pembiayaan dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang menyebabkan pengeluaran belanja pada APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedianya anggaran untuk membiayai pengeluaran belanja tersebut.
2.2. Analisis Masalah
2.2.1. Akuntabilitas APBD Sumatera Utara 2017
Akuntabilitas kinerja merupakan kewajiban Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas/kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah dalam hal ini adalah Gubernur Sumatera Utara yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Dalam pertanggungjawaban ini akan diukur tingkat keberhasilan dan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi melalui suatu media keberhasilan dan atau kegagalan tersebut diwujudkan dalam ukuran–ukuran kuantitatif sehingga dapat dinilai secara objektif hasil kinerja selama setahun dalam kurun waktu tahun 2016 yang telah dilaksanakan.
Akbar (2012) mengatakan bahwa: “akuntabilitas (accountability) secara harfiah dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban”. Namun penerjemahan secara sederhana ini dapat mengaburkan arti kata accountability itu sendiri bila dikaitkan dengan pengertian akuntansi dan manajemen. Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep akuntabilitas tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh stewart tentang jenjang atau tangga akuntabilitas yang terdiri dari 5 (lima) jenis tangga akuntabilitas yakni accountability for probity and legality, process accountability, performance accountability, programme accountability and policy accountability.
Berdasarkan analisis, maka terlihat bahwa sumber- sumber penerimaan daerah saat ini hanya pajak daerah yang memberikan kontribusi terbesar, namun secara umum sumber-sumber penerimaan daerah tersebut yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan daerah di Provinsi Sumatera Utara masih belum optimal. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing variabel sumber-sumber pembiayaan pembangunan tersebut diantaranya retribusi daerah hanya sebesar 0,1 persen, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah sebesar 0,5 persen, dana bagi hasil sebesar 0,1 persen, dana alokasi umum sebesar 0,1 persen, dana alokasi khusus sebesar 0,1 persen, dan pendapatan lain-lain yang sah hanya sebesar 0,05 persen.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2012), akuntabilitas keuangan daerah berpengaruh negatif terhadap pengelolaan keuangan daerah. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Siswandi (2013) dan Magdalena (2014), Siswandi dan Magdalena menemukan bukti empiris bahwa akuntabilitas memiliki pengaruh positif terhadap pengelolaan keuangan daerah kota Medan. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2011), memberikan bukti empiris bahwa akuntabilitas keuangan berpengaruh positif terhadap pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan fenomena diatas peneliti menduga bahwa ada pengaruh akuntabilitas keuangan terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Pengawasan adalah pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil yang diinginkan. Merupakan peran penting dan positif dalam proses manajemen, menjamin segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai waktunya. Pengawasan diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah disusun dalam APBD dapat berjalan secara efisien, efektif, dan ekonomis. Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan serta target-target operasi organisasi. Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang akan dijadikan parameter penilaian keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Pengawasan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Presiden RI Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. BPKP merupakan aparat pengawas intern pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Berdasarkan Perpres tersebut, BPKP mempunyai tugas utama menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional. Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi di daerah, BPKP membentuk Kantor Perwakilan BPKP disetiap Provinsi
Isu tentang kinerja keuangan pemerintah daerah dewasa ini menjadi sorotan publik karena belum menampakkan hasil yang baik dan belum dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat. Rakyat menuntut pemerintah daerah mempunyai kinerja keuangan yang baik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai perwujudan konsep otonomi daerah. Mahsun (2006) mengatakan bahwa: “kinerja itu sendiri adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja”. Pemerintah dapat dikatakan mempunyai kinerja keuangan yang baik apabila pemerintah tersebut mampu mengelola pemerintahan sehingga dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya secara keseluruhan. Tuntutan akan kinerja keuangan yang baik ini terjadi di semua pemerintah daerah termasuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengelolaan keuangan daerah sama seperti halnya dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota juga menyusun perencanaan dan pengelolaan anggaran yang akan dilaksanakan dalam satu tahun ke depan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa semua bentuk penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas – tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu pemerintah daerah yang menjadi sorotan publik seiring dengan terjadinya suksesi kepemimpinan atau pergantian Kepala Daerah pada tahun 2018 ini. Kepala Daerah terpilih yang baru harus dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sehingga manajemen pemerintahan yang akuntabel dapat terwujud. Berdasarkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2018, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bersama dengan 411 pemerintah daerah yang lain mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) atas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2017.
2.3. Metode Pengambilan Data
Dalam bagian analisis ini metode yang digunakan ialah deskriptif dengan pendekatan kualitatif . Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada di dalam kehidupan sosial. Dalam bagian analisis ini semua data yang diperoleh bukan berupa angka melainkan data yang berasal dari catatan lapangan,dokumen,serta dari sumber lainnya .
Dalam bagian analisis ini kelompok melakukan pengumpulan data sesuai dengan keadaan yang terjadi dilapangan.Adapun judul makalah ini “Akntabilitas APBD SUMUT 2017” dimana dalam analisisnya menggunakan teori akuntabilitas Choirul Saleh, 2012 dimana akuntabilitas menekankan pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakat dengan mengedepankan tranparansi.
Bab III
Kesimpulan
APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang dibahas dan disetujui Bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (permedagri No.13 Tahun 2006). Menurut menteri Negara otonomi daerah RI dan PAU-SE UGM, APBD pada hakikatnya merupakan instrument kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus selalu berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan suatu APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasikan kepentingan dan akuntabilitas publik. Sementara itu Mardiasmo (2010:11) mengatakan, bahwa salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Anggaran daerah yang tercermin dalam APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi pemerintah daerah, menduduki porsi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.
Daftar Pustaka
Buku:
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi
Skripsi dan Jurnal:
Aditia, Dito. 2018. Analisis Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah, Akuntabilitas dan
Transparansi terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (vol 2(III)): Jurnal Studi
Akuntansi dan Keuangan.
Magdalena, Tiur. 2014. Pengaruh Akuntabilitas Publik, Transparansi Publik, dan
Pengawasan Terhadap Pengelolaan APBD (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten
Deli Serdang). Skripsi. Jurusan Akuntansi Pemerintahan. Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Medan: Medan
Mardiasmo. 2006. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui Akuntansi
Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance. (Vol 2(1): 1-17): Jurnal Akuntansi
Pemerintahan
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah:
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan Presiden RI Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan
Website:
Akbar, B. 2012. Akuntabilitas Publik dan Peran Akuntansi Keuangan Daerah pada
Pemerintah Daerah. Diakses dari: https://www.pirac.org (Public Interest Research
and Advocacy Center).
Medandailybisnis.com. (2018). Laporan Keuangan Pemda di Sumut Bermasalah. Diakses pada
Jumat, 25 Mei 2018, dari: https://medanbisnisdaily.com/m/news/read/2018/05/25/348372/
laporan-keuangan-pemda-di sumut-bermasalah/
Pemprovsu. (2017). Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2017. Diakses dari:
https://www.sumutprov.go.id/content/userfiles/pengelolaan_anggaran/Laporan_Realisasi_Anggaran_tahun_2017.pdf
SESI TANYA JAWAB
Pertanyaan :
1. Dari Intan Umroh Aini (180903034)
Apakah sistem pertanggungjawaban keuangan di Indonesia sudah efektif dan transparansi ?
2. Dari Ibu Dosen, Ibu Dr.R.Sally Marisa Sihombing M.Si.
Paradigma apa bagi pemerintah di Sumatera Utara ketika melaksanakan akuntabilitas APBD khususnya di Sumatera Utara ?
Jawaban :
1. Sebelumnya, ruang lingkup pembahasan kami hanya tentang akuntabilitas APBD di Sumatera Utara pada tahun 2017, jadi kami hanya akan menjelaskan bagaimana akuntabilitas APBD di Sumatera Utara tahun 2017 apakah sudah efektif dan transparan atau belum. Transparansi keuangan telah menjadi kebutuhan warga dan telah mendapat perhatian Pemerintah Indonesia. Sejak ditetapkannya Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU17/2003), Indonesia secara formal telah berkomitmen untuk mengelola keuangan yang mengadopsi pilar-pilar utama tata pemerintahan yang baik (good governance), yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan kepatuhan. Pilar-pilar ini menjadi azas dalam semua peraturan pelaksanaan UU17/2003. Komitmen pemerintah untuk mendukung pelaksanaan transparansi bahkan telah direalisir melalui penetapan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(UU14/2008). Sejumlah perangkat aturan pelaksanaan di tigkat kementrian dan pemerintah daerah telah mengatur bagaimana implementasi UU14/2008 ini.
Ada beberapa penjelasan yang dapat menerangkan mengapa transparansi keuangan lembaga publik sangat penting: Pertama, untuk meningkatkan kepercayaan (trust). Pemerintah yang terbuka menyampaikan informasi keuangan kepada publik lebih dipercaya dibanding pemerintah yang relatif tertutup. Medina and Rufín (2015) menjelakan bahwa “transparency does have both a direct effect on trust and an indirect effect that is mediated by satisfaction.” Pemerintah yang tertutup dengan informasi keuangan dapat dinilai warga memiliki setumpuk rahasia penyelewengan keuangan. Pemerintah menutup informasi keuangan dapat diduga kurang berkompeten dalam mengelola dan melaporkan keuangan. Umumnya. pemerintah yang tertutup tidak dapat menjelaskan mengapa kinerja pembangunan mereka buruk dan tidak berhasil.
Kedua, untuk meningkatkan pengawasan masyarakat (controlling). Untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan warga perlu disertkan dalam pengawasan, dan pengawasan masyarkat ini akan efektif bila warga masyarakat mendapat informasi tentang pembiayaan program/kegiatan. Warga menjadi “watch dog” di tingkat lapangan bila perangkat pemerintah tidak ada disana. Pemerintah mempunyai keterbatasan dalam melakukan mengawasan program dan kegiatan, dan untuk itu membutuhkan dukungan warga masyarakat. Warga masyarkat dapat menilai dan memberikan masukan untuk berbagai kekurangan atau kelalaian pelaksanaan program/kegiatan di bila pemerintah transparan dalam penyampaian informasi keuangan program/kegiatan. Ketiga, bahwa warga berhak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk mengetahui (right to inform and right to know). Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Hak-hak warga negara menjadi perhatian dan ukuran kualitas demokrasi di setiap negara. Warga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dan mengetahui kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah yang secara langsung atau tidak langsung berdampak pada kehidupan warga dan masyarakat. Keuangan yang dialokasi pemerintah juga harus diinformasikan secara terbuka (transparan) agar warga dapat menilai kecukupan atau kekurangan untuk membiayai kebijakan, program, dan kegiatan.
Transparansi berpengaruh positif terhadap pengelolaan keuangan daerah. Artinya jika dalam transparansi pengelolaan nya baik, maka akan baik pula pengelolaan keuangan suatu SKPD. Walau komitmen dan ketentuan perundangan sudah ditetapkan untuk mengatur transparansi keuangan, masih banyak masalah dalam implementasi di lapangan.
Akuntabilitas APBD di Sumatera Utara 2017 belum optimal dan masih ada kekurangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Transparansi dan akuntabilitas nya masih perlu ditingkatkan agar lebih efektif dalam pengelolaan keuangan daerahnya.
2. Dalam menjalankan akuntabilitas pemerintah Kota Medan menggunakan paradigma otonomi daerah, Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 tahun tidak berubah dan cenderung stagnan.
Salah satu aspek reformasi yang mendapat perhatian hingga kini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi (politik dan fiskal) dengan mengunakan kerangka hukum Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akibat dari reformasi yang dulunya semua keuangan dan kegiatan daerah termasuk akuntabilitas berkait kepusat atau sentralistik sekarang menjadi lebih terdesentralisasi karena adanya otonomi daerah termasuk di Kota Medan yang sudah mengurusi rumah tangga nya sendiri.
Perubahan perundang – undangan pemerintahan daerah di Indonesia dengan mengakibatkan sistem pemerintahan bergerak dari sistem pemerintahan yang sebagian besar tersentralisasi ke sistem yang sebagian besar terdesentralisasi. Diharapkan melalui kebijakan tersebut dapat menyuburkan reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber – sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal. Sehingga tercipta akuntabilitas di daerah dalam menjalankan anggaran dan mengatur keuangan daerah sehingga tercipta masyarakat madani yang didukung dengan good govarnance
Komentar
Posting Komentar